Part 3
Benar Menurutku
Kondisi Ayyara berangsur-angsur membaik. Meskipun belum boleh banyak berpikir, tapi dia juga tidak bisa terus-terusan menghindari permasalahan bersama suaminya ini.
Cuaca di luar sedikit berkabut, terasa lebih dingin dari biasanya. Alam seakan ikut menggambarkan suasana hati Ayyara saat ini. Perempuan itu duduk termenung memandangi jendela di ruang perawatannya. Dia pun teringat akan percekcokannya dengan Abyan beberapa bulan sebelum peristiwa ini terjadi.
“Sayang, aku tuh bersyukur banget karena selama ini s’lalu mengikuti semua usulanmu,” ucap Abyan suatu kali saat keduanya menikmati suasana sore di beranda rumahnya. Mereka duduk saling berhadapan.
Ayyara mengerutkan kening. “Usulanku? Yang mana?”
“Itu, lho … usulan kamu yang minta aku resign dari kantor dan mencoba membangun perusahaan sendiri.”
“Ooh, lalu?”
“Iya, ternyata sekarang, finansial kita sudah jauh lebih baik bahkan melebihi target-target aku sebelumnya. Klien kita semakin bertambah banyak, tingkat kepercayaan terhadap perusahaan juga kian meningkat.” Abyan bangkit dari kursinya dan berjalan menuju sofa tempat Ayyara duduk.
Lelaki itu kemudian duduk di sampingnya, lalu merangkul dan mencium kening Ayyara cukup lama.
“Alhamdulillah, aku ikut bahagia mendengarnya, Mas. Semoga semakin berkah usahanya, ya.” Ayyara membalas pelukan sang suami.
Memperoleh reaksi seperti itu dari sang istri membuat Abyan merenggangkan pelukannya sembari menatap lekat mata Ayyara yang baginya selalu menyejukkan.
“Yang … Tsa kan, udah 4 tahun,” ucap Abyan sambil mengangkat sebelah alisnya, “boleh dong, tambah satu lagi.”
Ekspresi Ayyara langsung berubah begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan suaminya. Dia lepaskan pelukan Abyan lalu menggeser duduknya dan memalingkan wajah dengan bibir manyun.
“Nggak, ah! Kenapa juga harus tambah anak?” ujarnya sambil kembali memandang Abyan dengan tatapan tajam. “Kita udah dikasih anak sepasang, cantik dan ganteng. Nggak cuma itu, mereka juga lucu dan cerdas. Kurang apa?” Ayyara memprotes keinginan suaminya itu dengan bibir mencucu.
“Nggak ada yang kurang dari anak-anak kita, Sayang. Aku cuma pengin punya anak lagi aja, biar rumah kita tambah ramai. Lagian, harta kita semakin melimpah, nggak ada salahnya kan, kalau mau punya anak lagi,” sahut Abyan masih dengan suara lembut.
Dia pun ikut menggeser duduknya, berusaha untuk merangkul kembali istrinya. Tapi, Ayyara langsung menepis tangan sang suami.
“Memangnya Mas pikir, ngurusin anak itu cukup dengan harta yang banyak? Kamu enak, nggak usah hamil dan melahirkan, sedangkan aku? Lagian, mendidik anak zaman sekarang itu nggak gampang, Mas!” cerocos Ayyara dengan nada suara sedikit meninggi.
“Ya, ampun, Ayy … kamu itu, belum apa-apa udah marah. Aku kan, baru usul,” timpal Abyan seraya meraih secangkir teh yang ada di hadapan lalu menyesapnya.
“Kamu tuh, aneh-aneh aja usulannya.” Ayyara mengucapkan kalimat tersebut sambil mendelikkan mata.
Abyan yang baru saja meletakkan cangker tehnya langsung menoleh. Wajahnya terlihat memerah seiring dengan rahang yang mengeras.
“Ayy, di mana letak anehnya? Memang keinginan untuk punya anak lagi itu aneh? Aku tahu kamu yang selama ini memutuskan banyak hal di keluarga, tapi bukan berarti aku nggak bisa berpendapat, ‘kan?” Nada suara Abyan terdengar ikutan meninggi.
“Iya, tapi kamu juga tahu dari awal kita nikah, aku tuh, nggak mau punya anak banyak-banyak. Kita udah dikasih dua, lengkap lagi. Laki-laki dan perempuan, harusnya bersyukur, dong! Ini kok, malah minta nambah,” dengkus Ayyara terdengar sinis.
“Ayy, dijaga, ya, ucapanmu! Memang kalau punya anak lagi artinya aku nggak bersyukur? Justru karena aku merasa bersyukur diberikan harta yang banyak, jadi ingin memanfaatkan sebaik mungkin untuk anak keturunan kita.” Abyan bangkit dari duduknya.
“Kamu nggak pernah tahu artinya hidup kesepian. Aku hanya ingin keluarga kita lebih ramai. Jadi, jangan pernah salahkan aku kalau suatu saat ada orang lain yang mau mendengar dan menuruti apa mauku,” ucap Abyan seraya pergi meninggalkan Ayyara yang masih terdiam mencerna kata-kata suaminya.
Ayyara menghela napas. Dia memikirkan kata-kata suaminya beberapa bulan lalu itu.
‘Apa mungkin karena ini?’ batinnya.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Ayyara. Dia bergegas mengenakan jilbab instan sebelum tamunya masuk.
“Pagi, Bu!”
Rupanya perawat yang datang. Ini kunjungan rutin untuk mengecek kondisi pasien termasuk memeriksa saturasi oksigen dan juga tekanan darah. Meskipun terlihat masih pagi , tapi ternyata tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB.
“Sendirian aja, Bu? Suaminya nggak nemenin?” tanya suster sembari memasangkan manset tensimeter di lengan Ayyara.
“Iya, Sus, kan hari kerja. Masa bolos terus, entar pakai apa bayar perawatannya?” kelakar Ayyara bohong.
Sejak dirinya meminta Gita untuk menyuruh suaminya keluar, belum pernah sekalipun Abyan hadir kembali. Bukan karena tidak mau, tapi justru Ayyara yang melarang untuk datang menjenguknya.
Suster itu tersenyum. “Saya merasa iri sama Ibu,” celetuknya kemudian.
Ayyara mengerutkan kening sambil memiringkan kepalanya menatap suster itu. “Iri kenapa, Sus?”
“Iri karena punya suami yang begitu sayang dan peduli sama Ibu. Saya ingat betul waktu Ibu pertama kali masuk IGD, suaminya terlihat sangat gelisah. Bolak-balik tanya dokter tentang kondisi Ibu, malah kalau saya perhatikan, sepertinya dia nggak ingat makan ataupun istirahat sampai tahu pasti keadaan Ibu yang sebenarnya.”
“Masa, sih?” sanksinya. “Bukan sayang dan peduli kali, Sus … memang khawatir aja itu, takut disalahin kalau saya mati,” ujarnya cuek.
“Ah, Ibu bisa aja. Hati-hati, lho Bu … tidak mengakui kepedulian dan rasa sayangnya suami, entar malah ada perempuan lain yang berinisiatif mengambilnya,” canda sang suster sembari tersenyum.
Kalimatnya barusan membuat wanita usia 28 tahun ini tertegun untuk beberapa saat. Setelah membereskan peralatannya, suster itupun pamit pergi meninggalkan Ayyara.
Seiring dengan keluarnya suster dari ruangan, begitu pintu terbuka ada dua anak berlari ke arah Ayyara.
“Bundaaa ….!” pekik seorang anak perempuan usia sekitar 4 tahun menghambur ke pelukan Ayyara.
Mata Ayyara langsung berbinar. Dia pun merentangkan tangan menyambut putri bungsunya ke dalam pelukan. Kemudian anak pertamanya menyusul, ikut memeluknya di belakang tubuh sang adik.
“Hai, Sayang! Bunda kangen banget sama kalian.” Ayyara memeluk erat kedua buah hatinya.
Setelah mengurai pelukannya, dia memandangi mereka secara bergantian.
“Abang Zay, makasih, ya … udah bantu Bunda jagain adik Tsa,” ucap Ayyara sambil mengelus kepala putra sulungnya.
Zayyan yang berusia 7 tahun itu mengangguk sambil tersenyum.
“Tsa, s’lalu nurut sama Abang, kan?” tanya Ayyara sambil mengecup pipi putri bungsunya.
“Iya, dong! Tsa kan, anak salihah,” jawabnya dengan suara khas anak kecil.
Melihat kemesraan istri bersama kedua buah hatinya membuat hati Abyan hangat, bibirnya pun refleks ikut tersenyum. Tapi, tiba-tiba matanya berkaca-kaca karena teringat kembali peristiwa mengenaskan tempo hari. Abyan merutuki tindakannya saat itu yang tidak bisa bersikap tenang.
“Ayah, kok, nggak peluk Bunda?” Pertanyaan Tsabita menyadarkannya. Dia segera menarik napas perlahan beberapa kali untuk menahan agar air matanya tidak jatuh dan mencoba tersenyum kembali.
“Bukan nggak, Tsa, tapi belum. Kan, harus antre nunggu giliran,” ucap Abyan.
Keduanya pun cekikikan mendengar jawaban sang ayah. Mereka kemudian bergeser untuk mempersilakan Abyan mendekati Ayyara. Perhatian Zayyan dan Tsabita teralihkan pada makanan yang tersedia di meja. Tak heran jika di ruang VVIP seperti ini, jatah makanan untuk perunggu pasien itu hampir mirip menu di hotel-hotel.
Demi menjaga hati kedua anaknya, Ayyara tidak memprotes keinginan sang suami untuk memeluknya. Tubuh Abyan kian mendekat. Lelaki itu berdiri di samping tempat tidur membelakangi anak-anak. Lalu dia sedikit membungkukkan badan, memeluk istrinya begitu erat.
Pikiran Ayyara penuh dengan cacian pada lelaki ini, meskipun dalam hatinya sangat berbeda. Degup jantungnya berpacu lebih kencang. Sensasi rasa itu tak pernah berubah sejak awal pernikahan dulu, tiap kali Abyan menyentuh tubuhnya.
“Cepet pulih, ya, Sayang. Rumah sepi kalau nggak ada kamu,” bisik Abyan.
Ayyara hanya bisa memalingkan wajah sembari meremas seprai untuk mengatasi debaran di dadanya. Mendapati sang istri tak merespon pelukannya, Abyan pun merenggangkan pelukan dengan sedikit memundurkan posisi tubuhnya tanpa melepaskan kedua tangan yang melingkar di tubuh Ayyara.
Dia melihat istrinya hanya diam dan memalingkan wajah. Perlahan tangan kiri Abyan menyentuh pipi kanan Ayyara dan memutarnya dengan sangat hati-hati. Setelah menghadap pada dirinya, lelaki itu mendorong dagu istrinya agar menengadah sehingga mata mereka bisa saling berpandangan.
Ayyara memilih memejamkan mata. Dia tak ingin kalau pertahanannya jebol seandainya mata elang itu beradu pandang dengannya. Abyan tersenyum. Tanpa pikir panjang dia langsung memanfaatkan kesempatan ini dengan mengecup kening Ayyara cukup lama.
Sebelum istrinya membuka mata, Abyan masih sempat memandangi wajah Ayyara. Lelaki itu kembali tersenyum begitu melihat bibir penuh sang istri. Meskipun biasanya bibir itu segar merona dan sekarang terlihat sedikit pucat, tapi tetap saja menggoda imannya.
Ayyara cepat menyadari hal itu sehingga dia segera membuka mata dan sedikit mendorong tubuh Abyan agar menjauh.
“Mas, aku masih marah sama kamu. Jangan macam-macam!”
Lelaki itu hanya bisa menggigit bibir karena keinginannya tak terlaksana. Dia mesem-mesem menatap istrinya. Saat itulah dering ponsel Abyan berbunyi. Dia pun merogoh benda pipih berwarna hitam dari saku celananya. Ayyara masih sempat melihat nama yang muncul di layar.
‘Lidya? Ternyata kamu memang nggak menyesali perbuatanmu, Mas,’ batinnya.
Dia langsung menatap tajam ke arah Abyan, menarik napas dalam dengan kedua tangan terkepal kuat.
#IndonesianWritersZone
#PandoraIWZXRedaksiku2024
#SenjaMembawamuKembali
Tinggalkan Komentar