“Primitif sekali!” desis lirih Erlika sambil menggeleng lemah. “Kaya camping aja,” lanjutnya terkikik sambil membekap mulut.
Di sebelah kiri pintu ada sebuah meja kecil mepet dinding, di sebelahnya para-para tempat menaruh peralatan. Akhirnya dia menemukan baskom di para-para bambu yang menghitam. Dia kembali masuk ruang dalam sambil membawa baskom.
“Ini baskomnya?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aki Jungsemi mengangguk. “Ayo berangkat! Tinggalkan tasmu di sini. Buka bajumu, lalu bungkus pakai handuk!”
“Buka baju, Aki? Di mana?”
“Di dieu, atuh! Takon wae, sia!”
Erlika hanya mengira-ira si dukun bicara apa. Dia mengedarkan pandangan, hanya ada satu ruangan. Di sebelah kanan merapat dinding berdiri sebuah lemari berpintu kaca cermin dari kayu murah. Di depannya tergelar sebuah kasur dan bantal yang kumuh. Jendela kecil dari bilah-bilah kayu berada di dinding sebelah kiri pintu di atas pembaringan. Selebihnya tempat ritual perdukunan.
“Cepat atuh, Neng. Keburu lewat, tengah malamnya!”
Buru-buru Erlika buka baju lalu …, “handukku kecil nggak muat!” keluhnya.
“Perempuan bawa handuk kecil! Aya-aya wae.” Aki Jasemi membuka lemari mengambil sarung melemparkan pada Erlika. Erlika segera memakainya.
“Hayu, kita pergi!”
“Kemana Aki,”
“Mandi, tolol!”
Erlika mengekor Aki Jungsemi sambil membawa baskom, keluar rumah berjalan menembus kelebatan hutan, lalu menuruni lembah menuju sebuah curug kecil. Curug yang jatuh membuat kolam lumayan lebar lalu melimpah masuk aliran sungai dan menghilang di kelebatan vegetasi. Airnya dingin sekali. Erlika menaruh baskom di batu yang permukaannya rata, lalu melepas sarung sambil menahan malu. Dia langsung mencebur ke dalam kolam di bawah kucuran air curug. Tubuhnya menggigil kedinginan.
Si dukun dengan gembira segera melepas pakaiannya menyusul menceburkan diri di kolam lalu menyelam. Erlika terkejut merasakan tangan-tangan si Aki. Dukun itu menggerayangi kakinya perlahan makin naik dan memainkan jari-jari di antara pangkal pahanya. Ada rasa hangat menjalar dari situ menyebar ke seluruh tubuh. Napasnya memburu, Erlika menggelinjang mengeluh halus.
Kepala si dukun cabul nongol, tangannya lincah bermain di tubuh Erlika yang sejak menyandera Toni tak tersentuh lagi tangan lelaki. Timbul hasrat untuk dipuaskan. Keduanya bergumul di kubangan hingga puas berkali-kali. Kemudian, mereka terkulai lemas di bagian sungai yang cetek. Dukun itu sangat mengenali medan. Entah sudah berapa puluh korban yang dia kangkangi. Semua korban yang datang dibutakan dendam kesumat, atau ambisi berlebihan untuk mendapatkan sesuatu. Mereka tidak lagi bisa membedakan untung ruginya, apalagi benar salahnya.
***
Sementara di rumah keluarga Sumbogo, Ratih duduk di tepi tempat tidurnya. Kedua kakinya berjuntai, tangannya erat mencengkram kasur. Dia menatap kosong ke arah jendela. Malam semakin larut, tapi matanya tak bisa terpejam. Setiap kali ia mencoba tidur, bayangan hitam dan ular besar dari mimpinya selalu menghantui. Mimpi-mimpi itu bukan sekadar ilusi. Dia bisa merasakan ketakutan yang begitu nyata, hingga membuatnya terbangun dengan keringat dingin mengembun
“Bunda … Ratih tak tahan lagi,” gumam Ratih, ketika Arum, bundanya, mendekat dengan wajah penuh kekhawatiran. “Ratih pengen pulang, Bun. Ratih nggak mau tinggal di sini lagi.”
Arum duduk di sebelah Ratih, memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. Ratih menaruh kepalanya di bahu sang bunda. “Sabar ya, Sayang. Kita akan segera pulang. Tapi kau harus kuat!”
Ratih mengangguk lemah, namun hatinya dipenuhi ketakutan. Perutnya mulai terasa nyeri, dan rasa sakit itu makin menjadi-jadi. Ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera pulang ke rumah, tidur di kamarnya sendiri.
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel