“Aki … Aku bersedia melakukan apa saja. Aku akan melayanimu luar dalam, seperti yang kau minta, asalkan Aki hancurkan mereka semua yang menghalangiku untuk memiliki Toni! Bikin Toni menderita jika menolakku!” Erlika bicara berapi-api penuh kebencian, suaranya rendah penuh kemarahan.
Dukun Jungsemi menyeringai tatapannya melahap insan molek di hadapannya, yang datang menyerahkan tubuhnya dengan sukarela. Demi melampiaskan kesumatnya, merelakan tubuhnya dinikmati dukun itu sepuasnya. Dengan degup jantung yang meningkat, dukun itu manggut-manggut sambil menyungging senyum licik. Jakunnya naik turun. Kedua mata tuanya menyala-nyala penuh nafsu, seperti api yang tak pernah padam.
“Kau sudah memilih jalan ini, Neng Erlika. Tapi ingat, tak ada jalan kembali. Kau akan melayani keinginanku, dan aku akan memberimu kekuatan yang tak terbayangkan. Ratih, sainganmu itu akan hancur, dan Toni akan menderita tanpamu, tapi ingat bayarannya mahal.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Erlika mengangguk dengan mata membara. “Aku bersedia,” jawabnya mantap.
Jungsemi tersenyum tipis, namun senyuman itu lebih menyerupai seringai jahat. “Di samping sejumlah uang yang telah kau transfer, hanya ada satu syarat lagi, Neng Lika. Kau harus tinggal di sini,” ucapnya dengan tekanan di kalimat terakhir. Erlika berjengit.
“Tapi …,” protes Erlika.
“Ingat syaratnya! Kau harus melayaniku luar dan dalam, sampai kutuntaskan keinginanmu. Tak ada jalan kembali setelah kau melangkah masuk rumah ini, kecuali atas izinku!”
“Aku kan sudah membayarmu, Aki! Dan akan kulayani untuk malam ini saja!” bantah Erlika cukup kesal.
“Itu hanya uang jasa. Kamu tadi sudah menyanggupi akan melayaniku. Sedangkan kekuatan yang aku butuhkan untuk menerapkan ilmuku, butuh persyaratan lain, yaitu pelayanan darimu! Bagaimana mau melayani, jika kamu tidak di sini? Dan kau sudah menyanggupi!”
“Berarti tidak sekali berhasil? Kata Aki sekali gebrak pasti berhasil! Kau menipuku, Aki!” kata Erlika dengan suara tinggi.
“Tutup mulutmu! Besar sekali nyalimu. Gara-gara dukun konyol itu, mereka memperkuat pertahanannya! Aku harus berusaha lebih keras lagi!”
Erlika terdiam. Dia menyesal tidak sejak awal kemari. Setengah hatinya menolak tinggal dirumah tua, pengap dan menyeramkan, bersama lelaki kerempeng namun terlihat kuat. Jauh di dalam hati kecilnya timbul rasa sesal. Harusnya dia berhenti setelah dinikah siri. Keserakahan membawanya sampai kemari. Rasa dendamnya berhasil menyapu bersih penyesalan dan keragu-raguannya. Kemudian terdengar dukun itu bicara.
“Bagaimana, Neng? Kamu mundur dari kesanggupanmu? Beruntung aku hanya membutuhkan dirimu, tidak yang lain! Kau tidak perlu mencarinya! Semua kebutuhan ritual, aku yang mencari dan menyediakannya! Sekarang terserah padamu. Mau lanjut atau tidak!”
Dukun itu mendengus kesal. Kemarin malam dia sudah mulai mengganggu lewat mimpi-mimpi seram. Erlika terdiam sejenak, matanya menatap tajam pada Jungsemi. “Aku bersedia,” jawabnya singkat namun tegas.
Di dalam hatinya, dendam pada Ratih sudah membutakan akal sehatnya. Dia tak lagi peduli pada apa yang harus dilakukannya, asalkan Toni kembali padanya dan Ratih musnah dari bumi ini.
Jungsemi mengangguk, lalu membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Erlika masuk. Di dalam rumah itu, suasana jauh lebih mencekam daripada di luar. Bau dupa menyengat, di sudut ruangan terdapat berbagai benda ritual yang dipenuhi dengan aura hitam. Erlika tak peduli. Baginya, semua ini hanya upaya untuk mencapai tujuannya.
“Kau harus siap dengan semua akibatnya,” ujar Jungsemi lagi, sambil mempersiapkan tempat duduk di lantai untuk melakukan ritual pertamanya. “Setiap kali kau merapal mantra atau meminta bantuanku, kau semakin terikat dengan kekuatan gaib. Apapun yang terjadi pada tubuh atau jiwamu, itu adalah harga yang harus kau bayar.”
Erlika hanya mengangguk. Di dalam benaknya, hanya ada satu tujuan, Ratih harus hancur, gumamnya dalam hati.
“Pertama, kau harus melakukan ritual awal. Jika kau gagal, maka kau akan jadi budakku sampai aku tak menginginkanmu lagi. Ingat itu!” ancamnya. Dia tidak mau kehilangan tubuh molek Erlika berlalu begitu saja.
“Aku pasti bisa, Aki. Asalkan Aki membantuku,” jawab Erlika dengan bibir bergetar. Perasaannya campur aduk, tapi keinginan balas dendam membulatkan tekadnya. Kepalang basah, menyelam saja sekalian, pikirnya.
“Tubuhmu harus bersih terlebih dahulu. Ambil baskom berisi bunga tujuh rupa di dapur,” perintah Aki Jungsemi.
Secepat kilat Erlika ke dapur yang tinggal masuk melalui pintu menuju belakang. Tidak ada pintu lain kecuali pintu tempat dia masuk tadi dan pintu menuju ke belakang. Dia mengedarkan pandangan di ruang yang disebut dapur. Hanya emperan selebar dua meter sepanjang rumah bagian belakang.
Rumah itu berdiri sekitar tiga meter dari bibir tebing. Tidak ada penerangan, hanya memanfaatkan cahaya alam. Di sisi kanan pintu, tempat penyimpanan kayu bakar, dan tungku untuk memasak. Sebuah tungku yang terdiri dari tiga batu sama besar yang ditata membentuk segitiga. Batu ditata dengan jarak cukup untuk membuat lubang tempat menaruh peralatan masak. Celah antara dua batu tempat kayu bakar.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya