Di kediaman keluarga Danusaputra, Arum gelisah. Semalam dia bermimpi, putrinya menangis sambil berjalan di tengah kabut. Putrinya terus berjalan tidak mendengar panggilannya. Dia tidak bisa mendekat, seperti ada tirai tak kasat mata yang memagari mereka berdua. Arum berteriak-teriak, “Ratiiih! … Ratiiih …!”
Rangga tersentak bangun mendengar teriakan istrinya. Tangan Arum menggapai-gapai di udara sambil berteriak memanggil putrinya.
“Bun … Bunda! Bangun, ada apa teriak-teriak?” tanya Rangga membangunkan istrinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Arum terbangun, tubuhnya basah oleh keringat dingin, jantungnya berdebar-debar, napasnya memburu. Matanya nyalang memandang suaminya. Beberapa saat kemudian memeluk erat suaminya.
“Yah, Ratih … dia … dia kenapa? Aku khawatir, Yah. Aku takut dia kenapa-napa,” katanya dengan bibir bergetar, butiran-butiran air mata pun meluncur deras di kedua pipinya.
Rangga bangkit mengambil gelas berisi air putih di nakas, memberikannya kepada istrinya, “minumlah!” lalu, mengambil beberapa lembar tisu diberikan kepada istrinya.
Arum minum tiga teguk. Air dingin mengalir di tenggorokan menyejukkan dan mendinginkan hatinya, menghapus sementara kekhawatirannya. Arum menenangkan debaran jantungnya. Mengatur napas untuk melegakan dadanya.
“Tidurlah, itu hanya mimpi. Bunda kangen Ratih, kan? Besok, aku pulang sore. Kita jalan-jalan menengok putri kita. Kita ajak Ratih makan sroto Sawangan. Sudah lama kita nggak kesana. Sudahlah, yuk kita tidur lagi.”
Rangga memeluk istri tercintanya untuk menenangkan hati mantan kekasihnya. Arum menghadap Rangga. Berbantal lengan suaminya, Arum menyembunyikan wajahnya di dada Rangga sambil memeluk pinggangnya. Keduanya kembali terlelap.
Seperti hari-hari biasanya, Arum sedang melamun menatap televisi. Untuk mengisi waktu, dia menyibukkan diri di dapur. Masakan untuk makan siang sudah siap. Simbok sedang menjemur cucian. Rumah sangat sunyi.
Dulu sebelum Ratih menikah, rumah juga sepi, tapi sore atau malam putrinya ada di rumah. Rasa kangen menusuk kalbu. Dia menghubungi Ninit, sahabatnya, yang kini menjadi besannya. Beberapa kali sambungan tidak juga diangkat.
“Apa dia sakit? Ini persis seperti dulu waktu heboh postingan itu. Siapa sebenarnya wanita itu? Dia memang cantik sekali dan matang. Tidak seperti Ratih, masih kekanakan, keras kepala; terus mengejar apa yang ingin diraih!” Arum bersenandika lirih.
“Maafkan Bunda, ya Sayang. Masa mudamu tercerabut paksa karena janji kami. Bunda hanya ingin yang terbaik untukmu. Menghindarkan dirimu dari laki-laki yang tidak kita kenal luar dan dalamnya!” desahnya lirih.
Arum mengembuskan napas kuat-kuat untuk menghalau rasa curiga yang sempat menyapa. “Aku tidak boleh suudzon, itu dosa,” gumamnya lirih, lalu beristighfar beberapa kali.
Arum kembali menikmati siaran televisi. Dia memindahkan tayangan ke chanel national geography yang sedang menayangkan gunung-gunung yang ada di Nusantara dari barat sampai ke timur. Amazing, sangat amazing, indah sekali. Negri ini memang serpihan surga yang jatuh ke bumi
“Ndoro, Ndoro Kakung mboten kondur dahar siang?” tanya Simbok
“Ndak, Mbok. Bapak menjamu tamu di restoran. Toto dahar yo, Mbok. Mangganya satu saja. Kamu juga makan buah. Miliyo dewe yo.”
“Nggih Ndoro, matur nuwun,” katanya sambil membungkuk, lalu berlalu ke dapur.
Sesuai janjinya, sore itu Rangga pulang gasik. Mereka sedang menikmati teh hangat ditemani camilan getuk goreng sokaraja dan rempeyek kacang.
“Kok ada getuk goreng?” tanya Rangga.
“Tadi Ratno, dateng, bawa oleh-oleh getuk goreng. Kebon kita panen ubi sama jagung. Nanti sekalian bawa ke sana. Mas Barman doyan banget jagung rebus.”
“Sekalian aja direbusin,” saran Rangga.
“Kita bawa yang mentah dan yang mateng juga. Oh iya tadi Ratno bilang, panenan kita langsung laku, Yah. Ada seorang pemuda desa di sana, dia lulusan Unsoed. Pemuda itu yang mempertemukan petani dengan pembeli. Ternyata harga jualnya lebih tinggi dari pengepul. Apalagi Ratno juga jebolan Unsoed kan? Hasil tanaman kita mutunya bagus.”
“Syukurlah. Kebun kita bermanfaat, bisa membantu keluarga. Sepertinya pertanian di sana dikelola dengan profesional. Sawah ladang juga subur, padahal sungainya ada di bawah.”
“Ratno juga bilang, saat dipanen langsung dipilah gede kecilnya baru dikarungi. Lumayan Yah, buat kerjaan ibu-ibu sama anak-anak. Mudah-mudahan bisa seterusnya. Biar anak-anak tau sulitnya nyari uang.”
Rangga termenung, dia membayangkan, jika panenan langsung dipilah, akan lebih baik lagi, packaging-nya lebih profesional. Pakai peti kayu seperti peti buah atau sayur. Jika ada waktu dia ingin berjumpa dengan pemuda itu.
Sementara Ratih di jalanan, seperti daun kering tertiup angin, melangkah tanpa arah merasa sangat kelelahan. Berjalan setapak demi setapak sambil menahan rasa sakit di tubuh bagian bawah, di sepanjang jalan yang sepi. Baterai ponsel habis daya, dia membutuhkan masjid besar untuk ngecas baterai. Semalam dia lupa gara-gara ulah suaminya.
Teringat akan suaminya, hatinya kembali terluka, matanya mulai berkaca-kaca. Sekuat hati dia menahan tangis. Lidah kerudung syar’i yang dikenakannya mampu menyembunyikan wajah bagian atas dari pandangan orang. Matanya masih sembab, air mata tak henti mengalir dari sudut-sudut matanya. Ratih lelah, lelah lahir batin. Dengan terseok-seok berjalan ke arah masjid besar yang ditunjuk warga.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya