Mama tertawa.
“Karin, kalau Mama nggak kenal kamu, pasti sudah Mama jitak biar isi kepala kamu lurus. Tapi, Mama sangat tahu siapa anak Mama. Ini hanya karena perubahan hormon, Sayang. Mama yakin kalau semuanya sudah membaik kamu akan menikmati kehamilanmu ini. Kamu, kan, suka anak-anak.”
“Tapi, kan ….”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Aduh, Karin. Banyak perempuan di luar sana yang pengin hamil, sudah usaha keras, tapi belum juga dikasih. Giliran kamu yang baru sebentar menikah dan sudah hamil seharusnya banyak-banyak bersyukur. Orang menikah dan akhirnya hamil itu peristiwa lumrah. Malah seharusnya memang begitu. Itu artinya kamu subur.”
Tak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubah pendapat Mama, kalau memang dia sendiri tidak ingin. Sungguh aku belum menginginkan kehamilan ini, tapi aku juga tidak tahu apa yang mesti aku lakukan. Andai Mama memahami perasaanku, mungkin aku bisa meminta sedikit saran.
“Oh ya, Mama, Papa, dan Arka sudah sepakat, besok kita dan keluarga Arka bakal kumpul di sini buat makan malam. Mama sudah kangen sama mertuamu, sudah lama nggak ketemu. Pengin cerita-cerita kayak dulu lagi.”
“Ngapain? Mama mau ngapain ngundang Ibu ke sini?” Apa-apaan, sih? Aku belum siap bertemu keluarga besar. Aku belum siap dengan pertanyaan seputar kehamilanku. Acara makan malam? Pasti topik pembicaraan hanya seputar aku dan kehamilan ini.
“Apa anehnya, sih, ngundang mereka makan malam? Kita, kan, sudah jadi keluarga. Seingat Mama, kita juga sering makan malam bersama, bahkan saat kita sudah nggak lagi tetanggaan, itu sebelum kamu nikah sama Arka, kan?”
“Mama ngaco, ah.”
“Kok ngaco?”
“Ratu ngaco!”
“Waduh, kok, kamu jadi imut gini kalau lagi ngambek. Pasti nanti anakmu cewek. Bisa Mama bayangkan gimana bucinnya Arka sama anak pertamanya nanti.”
“Ma!”
“Mama sudah minta tolong Tante Lani buat pesan makanan di restoran biar Arka juga nggak repot menyiapkan semuanya. Lagian Mama malas masak di dapur kamu yang balik badan saja sudah nabrak kulkas.”
Aku menyerah. Aku tak punya kelebihan energi untuk memaksa Mama membatalkan acara makan malam spesialnya. Mau tidak mau aku harus siap dengan semua pertanyaan yang semakin aku pikirkan semakin membuat kepalaku pusing.
Akhirnya aku tidak bisa ke mana-mana. Sepanjang hari ini aku lebih banyak mengurung diri di kamar. Aku tidak bisa bersandiwara seolah keadaanku baik-baik saja. Saat dapur dipenuhi dengan aroma masakan, mualku kembali datang. Itulah yang akhirnya menjadi alasan Arka tidak membiarkanku melakukan apa pun selain rebahan.
Tepat pukul tujuh malam keesokan harinya, persis seperti yang direncanakan Mama, seluruh keluarga Arka datang ke rumah. Bahkan Mas Dika yang kesehariannya di Surabaya bisa ikut datang ke acara makan malam dadakan ini. Tidak hanya itu, Sifa dan Dio, kedua adik Arka yang saat ini tengah berkuliah di Jogja pun ikut datang. Sepertinya rencana Mama memang direstui alam.
Rumah jadi sangat ramai setelah Tante Lani dan suaminya ternyata juga turut diundang. Baru saat ini aku menyadari kalau rumah ini terlalu kecil. Aku merasa sulit bergerak. Mau melangkah ke depan sudah berhadapan dengan orang lain. Berbalik ke samping, pandangan mata membentur dinding. Membalik ke belakang sudah dapur.
Sebenarnya yang membuatku sesak bukan hanya ukuran rumahku yang kecil, tapi karena aku merasa semua orang memperhatikanku. Aku tidak nyaman. Aku kesal. Rasanya ingin kembali ke kamar dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut, tapi sejak semuanya datang Arka terus membuntutiku seolah aku bisa menghilang kalau dia lengah.
“Duh, kayak lagi perayaan pengantin baru, nih. Dari tadi Arka nggak bisa ngelepas Karin yang mondar-mandir kayak bola pingpong,” ujar Mas Dika yang aku rasa suaranya bisa menembus dinding dapur, padahal dia sedang berada di ruang tamu.
Tahu namaku disebut, otomatis aku menoleh. Aku pelototi Mas Dika yang justru cengengesan kayak remaja ABG yang sukses mengisengi, padahal sudah punya anak dua. Melihat ke arah Mas Dika otomatis aku melihat Arka, karena dia berdiri di sampingku agak belakang lurus dengan arah Mas Dika duduk. Digoda seperti itu Arka justru tersenyum malu-malu. Apaan, sih? Harusnya dia mengatakan sesuatu untuk membela istrinya, bukan malah diam pasrah. Sebenarnya kalau dia mau menanggapi dengan kalimat ringan yang konyol akan jauh lebih baik. Aku tidak akan merasa semakin kesal.
“Karin, dari pada kesal digodain terus mending ke sini. Bantu isi gelas nggak masalah, kan?” ujar Mama yang tengah menata hidangan di meja makan.
Merasa terselamatkan, segera aku menghampiri Mama. Baru juga beberapa langkah, belum benar-benar sampai di dekat Mama aku mulai mual lagi. Tidak. Jangan sekarang.
“Mama masak apa, sih?”
“Nggak masak. Lagian kenapa? Ini menu kesukaan kamu.”
“Baunya nggak enak, bikin aku enek. Arka obat antimualku mana?” Aku berbalik dan mendapati Arka tengah berdiri di belakangku dengan mengerutkan alis.
“Udah habis, kan.”
“Kok nggak beli lagi?”
“Aku baca di google nggak boleh minum obat itu kebanyakan, Karin.”
“Jangan percaya google, terkadang informasi di sana itu ngawur. Aku mau kamu beli lagi.”
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya